MINSEL–Program pemerintah pusat terkait Reforma Agraria dan Redistribusi Tanah di lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Jasa Jastamin untuk masyarakat Desa Ongkaw Raya pada tahun 2022 lalu nampaknya meninggalkan banyak polemik di tengah masyarakat. Khususnya masyarakat Desa Ongkaw Tiga, Kecamatan Sinonsayang, Minahasa Selatan.
Beberapa polemik yang mencuat dikeluhkan oleh ratusan warga Desa Ongkaw Tiga dalam aksi damai yang digelar di beberapa lokasi, Selasa (4/7). Beberapa warga saat diwawancarai ketika menggelar aksi damai di Kantor DPRD Minsel mengaku memiliki polemik yang berbeda-beda pasca diserahkannya sertifikat tahun 2022 lalu.
“Tanah ini sebelumnya saya beli dan sudah ada sertifikat hak miliknya. Tetapi saat pelaksanaan program reforma agraria dan penyerahan sertifikat oleh menteri tahun 2022 lalu, saya terkejut kok tanah saya keluar sertifikat baru dengan pemilik lain. Padahal tanah saya sudah bersertifikat, ini kan namanya penyerobotan. Mana mungkin kan ada sertifikat di atas sertifikat,” keluh Deissy Kliffen-Paudy warga Desa Ongkaw Tiga.
Dia pun menduga adanya campur tangan oknum Organisasi Tani Lokal (OTL) yang menurut informasi masyarakat turut dalam praktek mafia tanah. “Kalau benar adanya oknum OTL seperti itu, saya minta aparat tindaki, jangan buat polemik masyarakat dengan aksi mafia tanah. Saya minta pemerintah juga aparat turun tangan, jangan mereka bikin susah masyarakat,” tukasnya.
Hal serupa dirasakan Truitje Tampemawa. Dia turut menjadi korban dugaan aksi mafia tanah yang dilakukan oknum anggota OTL di Desa Ongkaw Tiga. Dia menjelaskan, sudah sejak tahun 1980an dirinya telah menempati dan mengelolah tanah tersebut, saat program reforma agraria pun dirinya turut ambil bagian sebagai peserta. Namun tak disangka, terbitlah sertifikat tanah yang ditempatinya namun dengan nama kepemilikan orang lain.
“Saya terkejut ada yang datang bilang kalau tanah itu sudah milik mereka dengan bukti sertifikat baru. Saya sudah tua, saya tidak tahu harus lakukan apalagi, tidak ada uang, sudah tidak ada kekuatan lagi untuk mempertahankan tanah yang sudah saya tempati selama lebih dari 40 tahun itu,” akunya sambil menahan air mata.
Wanita 87 tahun itu pun hanya bisa berharap aksi damai yang disampaikan mereka bisa didengar oleh pemerintah daerah sampai pemerintah pusat. “Saya berharap pak Presiden Jokowi mau melihat kami dan memberikan keadilan bagi kami masyarakat kecil yang sedang kesusahan,” lanjutnya sembari berisak tangis.
Kasus lainnya juga dialami Yan Mandas warga Ongkaw Tiga. Dirinya mengaku telah menempati dan mengelolah bidang tanah bersama keluarganya. Ketika masuk program reforma agraria, dirinya pun ikut serta dan mengaku sempat memberikan sejumlah uang kepada oknum OTL. Namun ketika terbit sertifikat, dirinya juga terkejut kalau sertifikat tanahnya bukan bidang tanah yang dirinya tempati, melainkan berada di lokasi yang entah di mana tempatnya.
“Saya memang sudah terima sertifikatnya, namun yang buat saya terkejut adalah lokasi bidang tanah bukan yang saya tempati. Lebih anehnya lagi, lokasi bidang tanahnya saya tidak tahu di mana tempatnya. Ini yang mau saya tuntut adalah kejelasan terkait sertifikat ini. Kalau begini sama saja mau memicu konflik antar masyarakat. Saya harap pihak terkait mau secara jelas dan adil menuntaskan semua polemik ini,” tegas Mandas.
Dari aksi damai tersebut terungkap juga dugaan campur tangan OTL sudah melakukan pungutan-pungutan kepada warga dengan iming-iming bakal dikeluarkan sertifikat tanahnya. Disampaikan Noldy Poluakan selaku koordinator lapangan dari aksi damai tersebut, jumlah pungutan yang diduga dilakukan oknum anggota OTL tersebut bervariatif.
“Oknum OTL ini diduga sudah banyak lakukan pungutan kepada warga saat masuk program reforma agraria ini. Ada yang 100 ribu sampai 500 ribu rupiah. Ini kan sudah melanggar aturan, sedangkan sosialisasi dari Kantor BPN Minsel tidak pernah program ini memungut biaya sepeserpun, lebih lagi ujung-ujungnya bermasalah seperti ini. Ini sudah aksi mafia tanah dan harus segera diberantas,” tegas Poluakan.
Dia pun menegaskan dalam aksi damai itu, pihak masyarakat menuntut pihak berwenang mau meninjau kembali setiap sertifikat yang diterbitkan melalui program reforma agraria tahun 2022 lalu. “Karena pasca pelepasan itu, masyarakat Ongkaw selalu berpolemik dengan kasus-kasus berbeda. Kami juga menuntut agar sertifikat yang sudah diterbitkan untuk ditinjau dan kalau bisa segera digugurkan karena pasti akan menimbulkan konflik kedepannya,” tukasnya.
Diketahui sebelumnya, Menteri ATR/BPN, Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto menyerahkan 762 Sertifikat Tanah untuk masyarakat di Desa Ongkaw Raya September 2022 lalu. Tanah untuk masyarakat Ongkaw tersebut merupakan hasil dari kegiatan redistribusi tanah yang bersumber dari Tanah Negara Bekas HGU Nomor 3/Ongkaw, atas nama PT. Jastamin.
Adapun Tanah Negara Bekas HGU Nomor 3/Ongkaw sudah bersengketa konflik sejak lama. Upaya-upaya strategis penyelesaian sengketa pun terus dilakukan, dimana salah satu langkahnya yakni melalui kegiatan GTRA Provinsi yang terdiri dari unsur teknis yang ada di Kantor Wilayah BPN Sulut, sertipikat lembaga dan Perangkat Daerah terkait.(rgm)